Ini
penggalan cerita kami (saya, DWO dan Dono), setelah “lulus” dari Jawa
Pos Group. Kami tetap berkarya, agar asap dapur tetap mengebul. Gak
jauh-2, masih seputar dunia tulis menulis. Cerita ini hanyalah “bunga”
perjuangan kami. Moga bisa dipetik hikmahnya. Salam kerja.. kerja..
kerja!
---------------------------
“Ayah, jgn lupa tgl 8 juni jam 7 pagi, aku wisuda. Kali ini saja ayah pulang
sblm lebaran. Aku pengin ayah yg mendampingi. Jgn sampe tdk lho yah..”. Ini SMS
anakku Senin siang. Kali ini dia sangat memohon. Nadanya mengiba. Mak nyess
hatiku membacanya.
Terang saja dia memohon. Karena sudah dua kali lebaran, aku tdk bisa pulang.
Janji-janji mau nyambangi, tak pernah bisa memenuhi. Entah mengapa selalu saja
ada kendala. Selalu ada aral yang menghalangi niat.
Lebaran 2009, gagal mudik. Padahal rencana sudah disusun jauh2 hari. Janji
ketemu teman2 sesama urban di jkt, jg sudah bulat. Tp seminggu sebelum lebaran,
keributan antar teman di kantor mencapai titik kulminasi. Bak erupsi Gunung
Merapi, semua impian membangun imperium, luluh lantak. Aku terdepak dari PT Sundul Langit Indonesia (perusahaan Advertising).
Demi harga diri, kutinggalkan prsh yg kubangun susah payah. Gak peduli
omzetnya sudah 4 M lebih per tahun. Persetan berapa juta jatah pembagian saham
30% untukku. Aku hanya pesan, salurkan ke yayasan sosial, biar jd amal jariah.
Disalurkan atau tdk, aku gak peduli. Rejeki bisa kucari lagi. Tp pas lebaran,
aku kehabisan ongkos pulang mudik.
Lebaran 2010, lebih parah lagi. Selama setahun aku mencoba bangkit. Segala
upaya kulakukan. Ternyata gak gampang. Sampai H-5 lebaran, aku msh kesulitan
bayar zakat fitrah.
Baru pada H-3, muncul SPK neonbox Perumahan Taman Permata Jakarta. Hari itu
jg dpt DP. Malam ba’da tarawih, kubayar zakat fitrah. Ketika semua orang
merayakan takbiran, aku dan teman2 malah penekan (memanjat), memasang neonbox
di depan Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Gagal lagi rencana pulang
mudik. Sekedar melepas rindu, aku hanya bisa telepon2an dengan Arief.
SMS Arief kali ini membuatku lebih stres lagi. Bukan soal biaya pulang
kampung yg jd kendala. Justru usaha Publishing-ku sedang jalan bagus2nya. Sejak
balik kucing di bidang jurnalistik, banyak proyek buku dan internal magazine
kami tangani. Masalahnya kini soal deadline.
Bagi media, deadline adlh harga
mati. Gak bisa ditunda. Tgl 15 Juni, majalah ITS XL harus selesai. Tgl 15 juga,
majalah Voice of Papua (VoP) juga hrs rampung. Lantas bagaimana dengan Arief?
Akankah kubiarkan anak kesayanganku itu wisuda tanpa kehadiranku? Tuhan,
tunjukkan jalan terbaik bagi kami. Amin.
Ayah Tidak Bohong, Kan...?
Selasa
(7/6/2011) siang, jam di ktr PT Anugerah Java Media (AJM) Group sudah
menunjuk angka 16.00. Resah di hati sudah mencapai ubun2. Dono, dirut
AJM masih saja nyerocos. Hari itu ia memimpin rapat pembahasan rencana
penerbitan majalah Voice of Papua dan majaah Polda Metro Jaya.
Anggotanya cuma aku dan DWO (Djono W Oesman). Aku dah mulai gak konsen.
Tapi pembahasan terus berlanjut.
Sekitar pukul 16.05, sebuah
SMS di HP-ku masuk. Kulihat dari istriku. Isinya pendek; “Ayah dah
kutransfer 500 rb buat ongkos ke blt. Sisanya cari sendiri ya..” Kujawab
singkat aja, “ya makasih”.
Aku sdh tak sabar lagi. “Sori, bos,
aku nampaknya harus segera cabut ini. Ngurus anakku dulu,” kataku. Dono
dan DWO nggak bisa mencegah. Keduanya hanya mengingatkan agar aku tak
lama2 pulang kampung. “Kerjaan kita banyak lho, deadline-nya juga mepet
semua,” kata DWO. “Siaap grak!” jawabku sambil mengangkat tangan tanda
hormat ala militer.
Dari AJM jam sudah menunjuk angka 16.45.
Kutancap gas motor Mio Soul-ku menuju stasiun Gambir. Antara yakin dan
tidak, aku berusaha mengejar KA Gajayana jurusan Jakarta-Malang. Tapi
sial, sampai di sana Gajayana sudah berangkat pukul 15.35. Sementara aku
tiba jam 17.45. Lemaslah lututku saat bertanya ke petugas loket.
Petugas cantik itu mencoba menawarkan tiket Sembrani dan Argo Angrek
jurusan Jakarta-Surabaya. Tapi aku minta pikir2 dulu.
Aku
telepon Mas Yusak, kakakku no 2. Anaknya (Rizal) satu pondok dengan
Arief, anak barep (pertama)ku. Rizal juga diwisuda hari itu, ia lulus
SMU. Arief lulus SMP. Kebetulan mereka sedang kumpul. Aku minta
pertimbangan Mas Yusak. Dia beri saran agar aku tetap berangkat. Lebih
baik datang terlambat dari pada tidak sama sekali. “Yang penting bisa
menyenangkan hati Arief,” katanya.
Akhirnya aku putuskan naik
Sembrani. Berangkat jam 18.35, telat sejam lebih. Kamis sekitar pukul
5.45, Sembrani berhenti di stasiun Cepu. Aku baru bangun dari tidur
pulasku. Entah ada apa, biasanya Sembrani berhenti di sts Bojonegoro,
langsung pemberhentian terakhir sts Pasar Turi, Surabaya. Menjelang
masuk sts Lamongan, kereta berhenti lagi. Ini juga tidak biasa. Gak
sabar, akhirnya aku memaksakan turun. Lalu naik bus menuju Blitar.
Jam 10 siang masih sampai Jombang. Bus Pelita Indah ngetem (berhenti
utk nambah penumpang) lama di Pertigaan Jl. Mengkreng, Jombang. Gema
musik dr pengamen jalanan sungguh berisik, mengganggu. Perempuan muda
nan cantik di sampingku, tak menggoda pikiran nakalku. Aku diam. Hatiku
gundah. Aku gak tau, apa yang dipikirkan Arief saat itu. Dia pasti juga
resah dan sangat sedih.
Sampai di Srengat (wilayah kecamatan paling
barat Kabupaten Blitar, berbatasan dg Kab. Tulungagung), adzan dhuhur
bergema. Aku janji dengan Toni (sahabatku di Blitar) untuk menjemput di
Pasar Pahing, Pakunden. Setelah itu dia mengantarku ke Madrasah
Tsanawiyah NU, tempat sekolah Arief.
Ketika kami tiba, Arief,
Rizal dan Mas Yusak menunggu di areal parkir Kantor Kecamatan Kepanjen
Kidul. Arief menyambut dengan muka masam. Setelah menyalamiku, ia
memelukku erat. Diam tanpa komentar. Aku menyambutnya dengan dada
bergemuruh. Penuh rindu dan rasa bersalah. Tubuh Arief yang tinggi besar
(tinggi 173, mirip almarhum ibunya) seolah menutup seluruh tubuhku.
Ketika melepas pelukan, kulihat kilatan di matanya. Matanya berair
menahan tangis.
Setelah basa-basi, dia baru cerita. Selama acara
wisuda berlangsung, dia sering melihat pintu menunggu kehadiranku. Tiap
ada yang masuk diteliti, “Siapa tau ayah datang. Tapi bukan...” Arief
tidak melanjutkan kata-katanya. Sejenak aku sempat diam. Bingung, mau
ngomong apa.
Sejurus kemudian, pembicaraan kualihkan soal hasil
Ujian Negara. Dia bilang belum dirilis. “Yang penting dah lulus,”
ujarnya bangga. Sementara aku gak mau mengganggu kebahagiannya. Hari
ini, semua keinginannya berusaha kupenuhi. Termasuk nginap sehari.
Padahal aku bingung, musti beralasan apa kepada para bos di kantor.
Karena dah janji langsung pulang sore atau malam ini. Ah... apa kata
nantilah