Gak nyangka, buku Transmigran Bisa 2011 diminati anak-anak transmigran dari berbagai daerah. Beberapa orang minta tambah untuk kenang-kenangan dan koleksi di rumah. Alasannya biar tambah semangat menggapai sukses di daerah trans.
SUNGGUH aku bangga, melihat tamu undangan acara Transmigration Award 2011 di Hotel Bidakara, Rabu (28/12) pagi, begitu antusias membaca buku Transmigrasi Bisa 2011. Sepanjang acara, beberapa malah seolah tak mau melepas perhatian ke isi buku. Terus saja membaca.
Aku bangga karena di buku Transmigran Bisa 2011, namaku tercantum sebagai salah satu penulis. Dua penulis lain adalah Mas Pram, dan Bahar Maksum. Sebagai editor, tertera nama Muhaimin Iskandar, Menteri Transmigrasi Kabinet Indonesia Bersatu.
Di buku setebal 200 halaman itu, aku menulis biografi mini lima orang tokoh. Diantaranya: Sukardi (Wakil Bupati Barito Kuala), Soehardjo (Kepala Irwilprov Banjarmasin), Suripno Sumas (Politisi dan Pengusaha Angkutan Bus), Achmad Suhanto (Politisi dan Pengusaha Jasa Ekspedisi) dan Siswoyo (Pengusaha Hotel). Mereka adalah anak-anak transmigran yang sukses di daerah.
Buku itu bercerita tentang perjuangan mereka menggapai cita-cita dan harapan. Di situ terlihat, betapa sulit mencapai sukses di daerah transmigrasi. Semua merasa berat di masa awal. Banyak halangan harus dilalui. Namun dengan tekad kuat, semua kendala bisa dihadapi. Intinya: tak ada kesuksesan tanpa daya dan upaya keras.
Untuk menulis kisah sukses mereka, aku harus menemui satu demi satu. Kuhabiskan waktu lima hari (Rabu, 16/11 - Minggu, 20/11) di Kalimantan Selatan. Sebenarnya, bukan masalah proses penggalian data (wawancara) yang bikin lama. Proses bertemu dengan mereka yang menghabiskan waktu. Apalagi kediaman salah satu narasumber (Siswoyo, di Batulicin), lumayan jauh dari Kota Banjarmasin. Jaraknya hampir 350 Km.
Untuk merangkai kisah mereka, butuh waktu hampir dua pekan. Sebenarnya, kalau tak terganggu kesibukan yang lain, cerita masing-masing bisa kuselesaikan semalam saja. Waktu dua minggu itu juga lantaran harus mengulang. Naskah jadi yang sudah tersimpan di dalam flasdisk, dicuri maling di dalam kantor (Gedung Rumah Pena), Senin (27/11) siang. Bersama tustel dan modemflash.
Untungnya, foto-foto narasumber sudah kupindahkan ke komputer PC. Tapi sialnya, sebagian besar data tidak tersimpan di dalam laptopku. Karena aku lebih banyak menulis di Warnet milik kawan (tempat tongkrongan). Walhasil, hari itu aku gagal menyerahkan naskah (di dalam flasdisk) ke tukang desain. Harus menulis ulang. Sial benar!
Tapi hari ini, sakit hatiku terobati. Banyak transmigran (anggota Perkumpulan Anak Transmigran/PATRI), mengaku tertarik dengan buku tersebut. Meski sudah di beri gratis satu, ada yang pesan tambah ke panitia. Katanya buat sumber inspirasi. Dibawa pulang sebagai kenang-kenangan dan untuk koleksi di rumah. Wah, laku juga ternyata.
Rabu, 28 Desember 2011
Lebaran Haji, Ayo Mengintip Bidadari!
Gak terasa sudah mau Hari Raya Idul Adha (Korban) lagi. Bagi umat muslim, ini moment istimewa. Sebagai peringatan akan pentingnya sikap tulus ikhlas dalam meyakini dan beribadah kepada Alloh SWT, sesuai aqidah (ajaran Al Qur’an dan Hadizt Rasolullah Muhammad SAW).
Jadi ingat wejangan guru2 ngajiku di kampung (Gang Pondok/Jl. Manggar, Sukorejo, Blitar). Semua guru ngaji selalu mengingatkan agar murid2nya tidak meninggalkan kesempatan menjalankan sholat Id (Idul Adha). Juga kewajiban menyembelih hewan kurban (bagi yang mampu).
Yang unik adalah cara guru ngaji malamku dalam mengingatkan kewajiban menjalankan sholat Id dan melaksanakan prosesi penyembelihan hewan kurban. Seperti Mbah Ilyas, yang selalu memberi sugesti kepada murid2nya dengan mengatakan, “sing paling taat nang Gusti Alloh SWT, bakal ndelok medodari metu soko awake wedus utowo sapi sing dibeleh. Singa iso ndelok, bakal oleh barokah (orang yang paling taat kepada Alloh SWT, akan melihat bidadari keluar dari tubuh kambing atau sapi yang disembelih. Yang bisa melihat, bakal dapat barokah)”.
Oh ya, dulu, sampai lulus SD (Sekolah Dasar), aku mengaji dua waktu dalam sehari. Sore hari di SDI (Sekolah Dasar Islam). Sekarang lebih dikenal dengan sebutan TPA (Taman Pendidikan Agama). Mata pelajarannya lebih banyak soal syariah umum. Malamnya ngaji lagi di Langgar Gang Pondok Tengah. Lebih banyak belajar cara membaca Al Qur’an dan menghafal tafsirnya.
Bagiku kata2 Mbah Ilyas, itu hanya dimaksudkan untuk sugesti. Sebab, sangat tidak rasional. Entah mengapa, dulu aku begitu percaya dengan wejangan tukang cukur yang kalau malam jadi guru ngajiku ini. Saking percayanya, aku sampai pernah (merasa) benar2 melihat bidadari (di mataku samar2 seperti bayangan manusia, kadang laki2, kadang perempuan) keluar dari tubuh kambing atau sapi saat disembelih di Masjid Jami’ Gang Pondok. Itu terjadi beberapa kali. Tapi ayah, ibu dan kakak2ku, hanya tertawa kalau aku cerita soal itu. Oleh mereka ceritaku dianggap aneh. Ayak ayak wae.
Seolah tak peduli dengan pandangan keluargaku, sampai kini, aku jarang meninggalkan momen2 penyembelehan hewan korban di Hari Raya Idul Adha. Bahkan saat sudah jadi wartawan. Aku penasaran dengan beberapa kali kejadian di masa kecilku itu. Meski sejak lepas masa remaja aku sudah kehilangan “pandangan unik”ku itu, sekarang aku masih suka melihat acara penyembelihan hewan korban. Penasaran aja, ingin melihat bidadari keluar dari tubuh kambing atau sapi yang disembelih.
Lebaran lalu, entah mengapa aku ingin sekali mampir di makam Mbah Ilyas, guru ngajiku dulu. Ketika melewati langgar bekas tempatku mengaji, dadaku mendadak bergetar keras. Kondisinya sudah jauh berbeda. Sudah dibangun lebih bagus. Namun auranya masih tajam, sampai menembus dada. Lantaran itu, aku jadi ingat almarhum Mbah Ilyas. Sayang aku tak tahu dimana makamnya. Dan waktuku berlibuar di Blitar juga tidak banyak. Tapi aku sudah titip teman di sana untuk mencari informasi. Kalau ada kesempatan pulang, aku akan mengunjungi makam Mbah Ilyas.
Mbah Ilyas itu sosok yang unik. Ia sebenarnya tukang cukur yang mangkal di rumah sendiri. Tapi kalau habis maghrib jadi guru mengaji di Langgar Gang Pondok Tengah. Aku yakin itu gratis. Sebab selama mengaji, aku tidak pernah diminta ongkos belajar. Padahal, meski pelanggannya banyak, aku yakin hasil mencukur tak cukup besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tapi itulah hebatnya Mbah Ilyas, yang menjalankan perannya dengan penuh ikhlas, hanya mengharap imbalan dari Alloh SWT. Aku ingat banget ajarannya soal imbalan bagi orang2 yang berbagi ilmu kepada sesama. Alloh SWT akan terus mencatat ganjarannya selama ilmu tersebut bermanfaat di dunia, sampai akhir zaman.
Hingga detik ini, aku masih menikmati faedah ilmu yang diberikan Mbah Ilyas. Ilmu yang diberi ibarat lentera yang menyala di hati, saat aku tersesat ke jalan yang gelap. Aku ingat benar bekal “rapalan” doa khusus yang diberikan untukku. Sangat pendek, bunyinya: ilahiya anta maksudi, waridhoka matlubi. Artinya: Alloh, hanya engkaulah tujuanku, maka ridhoilah semua langkah dan tindakanku.
Kata Mbah Ilyas, itulah doa yang diucapkan makhluk2 Alloh SWT yang soleh dan ikhlas dalam menerima segala keputusanNya. Seburuk apapun takdirNya. Termasuk yang diucapkan kambing dan sapi, atau hewan korban lain saat hendak disembelih. Dan jangan salah, meski buruk takdirnya di dunia, setelah kematian itu, roh mereka langsung diangkat oleh malaikat untuk dimasukkan ke dalam surga. Di dalam surga, mereka menjadi bidadari dan bidadara yang bertugas memberikan pelayanan terbaik bagi para penghuni surga kelak.
Sungguh, Lebaran Haji besok, aku tak akan melewatkan acara penyembelihan hewan korban di Masjid Rudhotul Jannah, Taman Raya Citayam, Bogor. Aku ingin mengintip bidadari yang keluar dari tubuh kambing dan sapi yang disembelih. Siapa tahu bener2 bisa melihat, dan mendapat barokah. Tahun ini, ibarat kapal tangker yang lagi miring, rejeki keluargaku pun sedang banyak menumpahkan minyak ke laut, alias kering. Singkat kata, tahun ini gak korban kambing atau sapi, melainkan “korban perasaan”.
Tapi aku tetap bersyukur, masih bisa jadi panitia penyembelihan. Insyaalloh, entah kapan, diberi Alloh SWT kesempatan berkorban di rumahnya (Baitulloh), di Mekkah Mukaromah, sebagai salah satu tamuNya. Alloh humma amin.
Taman Raya Citayam
Bogor, 4 Nopember 2011
Jadi ingat wejangan guru2 ngajiku di kampung (Gang Pondok/Jl. Manggar, Sukorejo, Blitar). Semua guru ngaji selalu mengingatkan agar murid2nya tidak meninggalkan kesempatan menjalankan sholat Id (Idul Adha). Juga kewajiban menyembelih hewan kurban (bagi yang mampu).
Yang unik adalah cara guru ngaji malamku dalam mengingatkan kewajiban menjalankan sholat Id dan melaksanakan prosesi penyembelihan hewan kurban. Seperti Mbah Ilyas, yang selalu memberi sugesti kepada murid2nya dengan mengatakan, “sing paling taat nang Gusti Alloh SWT, bakal ndelok medodari metu soko awake wedus utowo sapi sing dibeleh. Singa iso ndelok, bakal oleh barokah (orang yang paling taat kepada Alloh SWT, akan melihat bidadari keluar dari tubuh kambing atau sapi yang disembelih. Yang bisa melihat, bakal dapat barokah)”.
Oh ya, dulu, sampai lulus SD (Sekolah Dasar), aku mengaji dua waktu dalam sehari. Sore hari di SDI (Sekolah Dasar Islam). Sekarang lebih dikenal dengan sebutan TPA (Taman Pendidikan Agama). Mata pelajarannya lebih banyak soal syariah umum. Malamnya ngaji lagi di Langgar Gang Pondok Tengah. Lebih banyak belajar cara membaca Al Qur’an dan menghafal tafsirnya.
Bagiku kata2 Mbah Ilyas, itu hanya dimaksudkan untuk sugesti. Sebab, sangat tidak rasional. Entah mengapa, dulu aku begitu percaya dengan wejangan tukang cukur yang kalau malam jadi guru ngajiku ini. Saking percayanya, aku sampai pernah (merasa) benar2 melihat bidadari (di mataku samar2 seperti bayangan manusia, kadang laki2, kadang perempuan) keluar dari tubuh kambing atau sapi saat disembelih di Masjid Jami’ Gang Pondok. Itu terjadi beberapa kali. Tapi ayah, ibu dan kakak2ku, hanya tertawa kalau aku cerita soal itu. Oleh mereka ceritaku dianggap aneh. Ayak ayak wae.
Seolah tak peduli dengan pandangan keluargaku, sampai kini, aku jarang meninggalkan momen2 penyembelehan hewan korban di Hari Raya Idul Adha. Bahkan saat sudah jadi wartawan. Aku penasaran dengan beberapa kali kejadian di masa kecilku itu. Meski sejak lepas masa remaja aku sudah kehilangan “pandangan unik”ku itu, sekarang aku masih suka melihat acara penyembelihan hewan korban. Penasaran aja, ingin melihat bidadari keluar dari tubuh kambing atau sapi yang disembelih.
Lebaran lalu, entah mengapa aku ingin sekali mampir di makam Mbah Ilyas, guru ngajiku dulu. Ketika melewati langgar bekas tempatku mengaji, dadaku mendadak bergetar keras. Kondisinya sudah jauh berbeda. Sudah dibangun lebih bagus. Namun auranya masih tajam, sampai menembus dada. Lantaran itu, aku jadi ingat almarhum Mbah Ilyas. Sayang aku tak tahu dimana makamnya. Dan waktuku berlibuar di Blitar juga tidak banyak. Tapi aku sudah titip teman di sana untuk mencari informasi. Kalau ada kesempatan pulang, aku akan mengunjungi makam Mbah Ilyas.
Mbah Ilyas itu sosok yang unik. Ia sebenarnya tukang cukur yang mangkal di rumah sendiri. Tapi kalau habis maghrib jadi guru mengaji di Langgar Gang Pondok Tengah. Aku yakin itu gratis. Sebab selama mengaji, aku tidak pernah diminta ongkos belajar. Padahal, meski pelanggannya banyak, aku yakin hasil mencukur tak cukup besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tapi itulah hebatnya Mbah Ilyas, yang menjalankan perannya dengan penuh ikhlas, hanya mengharap imbalan dari Alloh SWT. Aku ingat banget ajarannya soal imbalan bagi orang2 yang berbagi ilmu kepada sesama. Alloh SWT akan terus mencatat ganjarannya selama ilmu tersebut bermanfaat di dunia, sampai akhir zaman.
Hingga detik ini, aku masih menikmati faedah ilmu yang diberikan Mbah Ilyas. Ilmu yang diberi ibarat lentera yang menyala di hati, saat aku tersesat ke jalan yang gelap. Aku ingat benar bekal “rapalan” doa khusus yang diberikan untukku. Sangat pendek, bunyinya: ilahiya anta maksudi, waridhoka matlubi. Artinya: Alloh, hanya engkaulah tujuanku, maka ridhoilah semua langkah dan tindakanku.
Kata Mbah Ilyas, itulah doa yang diucapkan makhluk2 Alloh SWT yang soleh dan ikhlas dalam menerima segala keputusanNya. Seburuk apapun takdirNya. Termasuk yang diucapkan kambing dan sapi, atau hewan korban lain saat hendak disembelih. Dan jangan salah, meski buruk takdirnya di dunia, setelah kematian itu, roh mereka langsung diangkat oleh malaikat untuk dimasukkan ke dalam surga. Di dalam surga, mereka menjadi bidadari dan bidadara yang bertugas memberikan pelayanan terbaik bagi para penghuni surga kelak.
Sungguh, Lebaran Haji besok, aku tak akan melewatkan acara penyembelihan hewan korban di Masjid Rudhotul Jannah, Taman Raya Citayam, Bogor. Aku ingin mengintip bidadari yang keluar dari tubuh kambing dan sapi yang disembelih. Siapa tahu bener2 bisa melihat, dan mendapat barokah. Tahun ini, ibarat kapal tangker yang lagi miring, rejeki keluargaku pun sedang banyak menumpahkan minyak ke laut, alias kering. Singkat kata, tahun ini gak korban kambing atau sapi, melainkan “korban perasaan”.
Tapi aku tetap bersyukur, masih bisa jadi panitia penyembelihan. Insyaalloh, entah kapan, diberi Alloh SWT kesempatan berkorban di rumahnya (Baitulloh), di Mekkah Mukaromah, sebagai salah satu tamuNya. Alloh humma amin.
Taman Raya Citayam
Bogor, 4 Nopember 2011
Langganan:
Postingan (Atom)